berbagi cerita membuka cakrawala

Breaking

Post Top Ad

Your Ad Spot

Selasa, 10 Desember 2019

Sepenggal Kisah Ke Pulau Lingga-Habis

Kami menutup sore itu dengan membawa setumpuk tugas yang harus kami selesaikan lagi di Batam. Tak lupa berkas-berkas dokumen yang kami perlukan aku rapikan dan masukkan tas.

"Ada plastik gak bang ?" Tanyaku dengan bang Effendi, salah satu Kasi disana.

Bang Effendi pun mencoba mencarikan plastik dari tumpukan map yang ada disekitarnya.

"Pakai ini bisa ?"tanyanya sambil menyodorkan sebuah map folder berbahan plastik kepadaku.

"Jadilah itu" jawabku sambil ku raih folder biru itu dan ku masukkan berkas-berkas tadi ke dalamnya.

Setelah berkemas, aku keluar kantor. Eh, gudang. Gudang yang dijadikan kantor oleh Dinas Perikanan Kabupaten Lingga.

Bang Okta dan satu staffnya sudah menunggu kami di luar. Tujuan selanjutnya kami adalah mencari penginapan untuk istirahat kami malam ini.

"Kita ambil motor dulu ya, biar nanti kalian pakai" ucap bang Okta dan langsung ku jawab dengan kata siap, menandakan setuju.

Kami dibawa ke tempat kos salah satu staff bang Okta, sebuah motor dinas terparkir dengan kunci yang masih menempel dihalaman kos nya.

"Kalau disini kunci tertempel, motor tetap aman" seloroh bang Okta kepada kami.

Aku cuma bisa senyum sambil mencerna kalimatnya, apakah sekedar gurauan belaka atau memang seperti itu kultur disana.

Segera kuambil motor dinas yang akan kami pakai, dan menyalakan mesinnya.

"Disini juga ada penginapan, mau disini atau dipenginapan yang bagus ?" Tanya bang Okta

Aku dan Arif saling berpandangan, seolah ingin mengkonfirmasi pertanyaan dari bang Okta.

"Dimana aja bang, yang penting kami bisa tidur" jawabku, yang juga disetujui oleh Arif.

"Butuh tempat tidur cepat ini" seloroh Arif sambil ketawa kecil.

"Tapi disini tidak ada AC nya" lanjut bang Okta mengkonformasi pilihan kami.

"Gak apa-apa bang, gini aja sudah dingin" jawabku lagi.

Setelah obrolan kecil yang santai itu, bang Okta kemudian menanyakan ke pemilik penginapan, apakah masih ada yang kosong untuk kami.

"Ada pak, kami ambilkan kuncinya dulu" jawab mbak-mbak sambil bergegas mengambil kunci.

"Berapa per malamnya ?" Tanya bang Okta ke pemilik penginapan.

"Seratus ribu Pak" jawabnya sambil membukakan pintu kamar untuk kami tempati malam ini.

Lambaian kasur dan bantal membuaf kami ingin bergegas untuk memeluk.

"Aduh, akhirnya bisa tidur, setelah semalaman build aplikasi" ujar Arif sambil meletakkan tas dan jaketnya.

"Istirahat dulu ya, nanti malam saya jemput" ujar bang Okta sambil berpamitan pulang.

Ku pandangi penginapan ini, berbahan utama kayu khas Villa di KTM Resort Batam. Kamarnya cukup luas, dengan kamar mandi yang lumayan lah.

Ku rebahkan badanku di kasur, sambil melihat-lihat perkembangan dunia melalui berita online dan lini masa twitland. Masih seputar penyelundupan yang melibatkan direktur utaman salah satu maskapai plat merah Indonesia.


Namun ada berita yang membuatku cukup sedih, yaitu tentang seorang mayat anak tanpa kepala yang ditemukan meninggal di parit dekat tempat penitipan anak. Tak terbayangkan bagaimana sedihnya kedua orang tuanya. Anak itu dinyatakan hilang di dalam tempat penitipan anak. Semoga keluarga yang ditinggalkan diberikan ketabahan dan kesabaran.

Hari semakin larut, meskipun lelah, sulit juga bagiku untuk sekedar memejamkan mata.

"Masih lanjut juga Pak ?" tanya Arif penuh keheranan.

"Iya, hehehehe" jawabku singkat sambil mengaduk secangkir teh yang tersaji di meja.

Kami baru sampai di Batam, setelah pelayaran empat jam yang memusingkan kepala. Sambil mengingat memori-memori yang terjadi semalam di Negeri para raja.

Ku hirup perlahan teh yang masih hangat, untuk sedikit meredakan rasa mual di perut dan menahan rasa pusing di kepala.

Seperti janjinya, bang Okta datang menjemput kami selepas magrib. Mengajak kami ke rumahnya untuk makan malam.

Jaraknya cukup dekat dari penginapan kami, sekitar 300meter, karena hanya beda beberapa gang saja.

Hidangan menu makan malam sudah tersedia di meja makan. Rumahnya cukup luas dengan ruang keluarga yang cukup luas.

"Biasanya Diva sama Fahri kejar-kejaran disitu" ujar bang Okta sambil menunjuk ruang keluarga.

Aku tak begitu peduli itu, yang ada dipikiranku sekarang adalah nasi dan tumpukan ayam goreng yang sudah menggodaku sedari tadi. Seperti magnet yang menarik mataku ke kutub paha dan dada ayam dalam piring itu.

Dengan sedikit basa basi, ku ambil beberapa centong nasi dan sepotong ayam goreng yang sedikit di penyet. Kami makan berlima dalam satu meja makan.

"Kak Ratih lagi ada acara pengajian" ucap bang Okta, seperti tahu apa yang ingin ku tanyakan.

Menu makan malam itu kami tutup dengan minum teh bersama di teras rumah bang Okta.

"Di depan ini sawah, tapi sekarang belum diolah lago tanahnya" ujar bang Okta memperkenalkan lingkungan sekitar rumahnya.

Malam ini cuaca secara tiba-tiba menjadi mendung, hujan rintik-rintik mengiringi perjalan pulang kami ke penginapan. Setelah mengisi logistik dengan sepiring besar nasi dan dua ayam goreng, plus tumis kangkung. Tidak ketinggalan juga sambal belacannya.

Ah, nikmat sekali malam itu. Ku rebahkan badan di kasur dan sejenak sambil kembali melihat berita dan mencari bahan bacaan.

Sinyal provider selain plat merah memang tidak terlalu bagus di Lingga, jadi kecepatan akses internetku benar-benar melambat. Sesekali teeputus koneksinya.

Syukurnya, bang Okta kembali datang dan mengajak kami jalan mengelilingi Pulau Daek Lingga.

"Bawa motor ya, kita ke buton" serunya sambil menekan rem motor scopy warna pink.

Sepertinya itu motor istrinya yang dia pakai untuk alat trasportasinya.

Kami berjalan beriringan dengan dua motor, scupy pink dan motor dinas plat merah yang aku dan Arif pakai.

Sepanjang perjalanan aku amati, sepi, sunyi dan remang-remang. Kami melewati jalan yang membelah hutan. Bau aspal yang masih basah karena gerimis tadi masih sangat terasa. Dinginnya udara hutan sangat terasa.

"Aku terharu lah rif, rasanya mau nangis" ucapku ke Arif yang duduk di kursi belakangku.

"Lah kenapa pak ?" Tanyanya terheran.

"Sudah lama tidak merasakan udara dingin seperti ini di Batam" jawabku sambil tetap menjaga laju motor agar tidak buru-buru meninggalkan memori ini.

Jalan benar-benar lenggang, sempat terbesit rasa was-was dalam benakku, jika seandainya terjadi hal-hal buruk. Karena di Batam, tempat seperti ini biasanya rawan kejahatan.

Setelah perjalanan dua puluh menitan, sampailah kami di Buton. Salah satu pelabuhan di Daek Lingga.

"Kalau kesini harusnya sama cewek Rif" gurauku ke Arif yang dilanjutkan dengan ketawa bersama-sama.

Ternyata, seperti halnya dermaga di berbagai daerah. Pelantar pelabuhan Buton ini juga dijadikan tempat sebagian pemuda dan pemudi untuk memadu kasih, melewatkan malam disertai dengan alunan ombak dan cahaya bintang malam.

Beberapa pedagang menyusun kembali meja dan kursi. Tak lupa mereka mengelap meja dan kursi. Sepertinya rintikan hujan tadi membuat mereka mengemas sesaat lapak jualannya.

"Pemkab Lingga harus berfikir keras untuk meningkatkan PAD Lingga kalau seperti ini, misalnya dengan membuat wisata bawah laut" selorohku.

"Dinas Perikanan punya program apartemen Ikan, cuma untuk menghasilkan karang yang bagus butuh waktu" lanjut bang Okta, seolah membalas celetukanku.

Memang obrolan kami sangat random, kadang ke Pemerintahan, Bisnis bahkan ke hal yang gak penting-penting. Absurb memang. Arif hanya bisa ketawa-ketawa kecil ketika menyimak obrolan kami. Aku yakin dia tidak paham dengan apa yang kami obrolkan, karena jiwanya sejatinya masih di kasur.

"Kita lanjut ke pusat kota Daek" ucap bang Okta sambil menarik gas motornya pelan-pelan.

"Hah, ada kota ya disini" jawab Arif terheran.

Perjalanan kami berlanjut, kami menyusuri setiap ruas jalan dalam remang, menuju pusat Kota Daek. Beberapa tempat makan yang kami lewati cukup ramai. Ini membuat kami bertanya, khususnya aku dan Arif.

"Setiap kedai kopi dan tempat nongkrong ramai semua yah" ujarku ke Arif.

"Mereka semua tinggal dimana ya, padahal sepi loh perumahan" seloroh Arif.

Jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam, namun suasana di pusat kota Daek masih sangat ramai.

"Kedai kopinya tutup" ucap bang Okta sambil tetap memacu motor scupy pinknya.

Tak lama kami berhenti di sebuah cafe. Segelas jeruk hangat ku pesan, Arif dan bang Okta memesan Susu Jahe Hangat.

"Bang Okta ada mau nyanyi ?" Tanya pemilik Cafe sambil menawarkan microphone yang sedang dipegangnya.

"Lanjut bang, kami jadi pendengar saja" jawab bang Okta sambil sibuk mengutak atik seluler cerdasnya.

Cafenya cukup ramai pelanggan, tempatnya bersih bagus. Tidak hanya muda-mudi berkelompok yang menikmati malam bersantai di Cafe itu. Namun juga ada Bapak-bapak yang sedang berdiskusi. Entah apa yang mereka diskusikan aku juga gak tahu dan untuk apa tahu.


Waktu demi waktu hanya kami habiskan dengan menyibukkan diri menggunakan seluler masing-masing. Suara musik dan lagu yang sedang dinyanyikan dengan karaoke sangat keras. Sehingga tidak memungkinkan buat kami saling mengobrol satu dengan yang lain.

"Ayok pulang" seru bang Okta dan kami jawab dengan anggukan.

Kami sedikit terburu-buru untuk kembali ke penginapan, karena gerimis kembali turun. Malam panjang itu kami tutup dengan sedikit memutar kembali ke suatu rumah makan.

"Tadi kayaknya disini Rif tempat jual Mie Ayamnya" sambil ku dekati sebuah warung yang ternyata menjual tekwan.

"Cuma, aromanya tercium dari arah sana" ujar Arif, yang ternyata juga mencium aroma yang sama denganku.

Ku putar kembali arah motor, dan menuju tempat yang ditunjuk Arif.

"Ko cium juga kan Rif aroma Mie Ayam tadi ?" Tanyaku untuk memastikan bahwa aku tidak salah mencium aroma olahan warung Mie Ayam.

"Iya, tapi ini kok yang ada tulisannya Prata ya" seloroh Arif.

Malam yang mengecewakan, padahal aku berharap bisa menikmati seporsi Mie Ayam ala Daek Lingga. Apalagi suasananya sangat mendukung.

"Udah lah Rif, kita pulang. Besok kita harus ke pelabuhan pagi hari biar gak ketinggalan kapal" ucapku ke Arif sambil memacu motor dinas plat merah itu.

"Sejak kapan Bapak jadi pujangga ? Apa gegara kehujanan kemaren ?" Tanya Arif sambil mengejek apa yang aku lakukan.

"Itu sudah ku kirim linknya, dua bagian, ini bagian ketiga lagi ku tulis, baca ya" jawabku sambil mengirim dua link tulisan yang sudah ku posting sebelumnya.

"Ternyata kegabutan Bapak menghasilkan tulisan panjang" balas Arif lagi.

"Heheheheee, iya" balasku.

Kami bertiga menuruni tangga keluar dari pelabuhan. Setelah sebelumnya berangkat dari penginapan jam delapan pagi menuju pelabuha seitenam dan berlayar selama empat jam ke Batam.

Sampai jumpa Kota Daek Lingga. Memori yang membekas, ku abadikan dalam beberapa bait tulisan.

Akhirnya tulisan ini ke selesaikan dalam sepetak kamar, diatas kasur sambil merebahkan badan. Kepalaku masih terasa pusing. Dan sepertinya juga masuk angin.

"Mas, mau makan yang kuah-kuah gak ? Mislanya bakso gitu" Isi chat yang melintas di notifikasi.

Maka, segera kuakhiri cerita ini. Karena ada tawaran menggiurkan dari ujung seberang chat itu.

Sebuah perjalanan ke Pulau Lingga yang bermakna. Terima kasih sudah membaca setiap partnya. Mohon maaf jika ada salah kata, itu tidak lepas dari jempol besar dan kecilnya tombol keyboard selulernya. Hehehee

Tidak ada komentar:

Posting Komentar


Post Top Ad

Your Ad Spot